Dalam
edisi yang lalu kita sudah membahas dua zaman besar yang memulai
perkembangan musik Eropa, yaitu zaman Renaissance dan Baroque. Jika kita
hendak menganalogikan musik dengan bahasa, musik Renaissance dapat
diungkapkan sebagai building blocks suatu bahasa, yaitu
gramatikanya, struktur kalimatnya, dan juga kosakatanya. Lalu musik
Baroque adalah suatu cerita atau prosa yang digubah dengan memakai
bahasa tersebut. Kalau yang pertama adalah means of expression, maka yang kedua adalah expression of meaning. Dalam artikel bagian kedua ini kita akan melanjutkan pembahasan kita dengan zaman Klasikal1.
Zaman Klasikal (ca.1750-1810)
Musik dalam periode ini dilatarbelakangi oleh semangat zaman yang sangat terkenal: Age of Enlightenment,
yaitu gerakan yang menempatkan rasio sebagai otoritas tertinggi dalam
menentukan segala sesuatu. Kita akan melihat bagaimana semangat ini
mempengaruhi perkembangan musik, tapi sebelumnya kita harus melihat
lebih dalam ide di balik Rasionalisme. Satu abad sebelumnya, Eropa
sedang memasuki masa klimaks Humanisme. Kalau pada zaman Renaissance,
pemikiran Yunani Kuno dijadikan acuan untuk berbagai ilmu, pada abad 16
dan 17 Eropa telah melahirkan orang-orang yang menemukan pemikiran dan
ide orisinal, khususnya dalam bidang sains. Contoh yang mudah adalah
Isaac Newton dengan rumusan gravitasi dan kalkulusnya. Perkembangan ini
merupakan pengaruh dari kekristenan dalam ilmu pengetahuan. Dalam
periode tersebut, meskipun tidak semua orang Eropa adalah orang percaya,
Alkitab diterima secara universal sebagai kebenaran. Christopher
Marlowe, pembuat drama Dr.Faustus2, dalam akhir kisahnya, ketika
Faust dilempar ke neraka ia berkata demikian, “Lihat, lihatlah darah
Kristus itu, satu tetes saja akan menyelamatkan jiwaku, bahkan setengah
tetes, oh Tuhanku.” Marlowe, seperti tokoh Faust, adalah seorang unbeliever sampai
pada akhir hidupnya namun ia mengetahui (paling tidak secara kognitif)
dari mana keselamatan berasal. Pengaruh kekristenan seperti inilah yang
membedakan abad ke- 17 dengan zaman Yunani Klasik yang menganggap
mitologi Yunani sebagai sejarah, bukan sebagai cerita belaka. Implikasi
kepercayaan akan dewa-dewa yang personifikasinya adalah
fenomena-fenomena alam mengakibatkan ilmu pengetahuan tidak berkembang.
Petir, misalnya, adalah suatu kuasa alam yang diasosiasikan dengan Zeus,
dewa tertinggi mereka. Laut merupakan kediaman Neptune, Matahari
merupakan kendaraan Apollo. Bayangkan kalau ada yang mengusulkan bahwa
petir bukanlah sesuatu yang supernatural melainkan hanya proses alamiah
yang lumrah; Socrates bukan hanya dihukum mati karena dituduh merusak
kaum muda di kota Athena, ia juga dituduh mempunyai konsep religius yang
mendobrak mitologi Yunani. Namun pada abad ke-17 Alkitablah yang
diterima sebagai sejarah, sama seperti mitologi Yunani pada zaman Yunani
Kuno. Dan Kitab Kejadian mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah
ciptaan, bukan bagian dari Sang Pencipta itu sendiri. Maka petir boleh
dipelajari, laut boleh ditelaah. Tanpa pengaruh kekristenan, sains tidak
akan berkembang. Perkembangan sains telah mengubah pandangan akan alam
semesta, yang tadinya dianggap sebagai sesuatu yang di luar pengertian
manusia telah menjadi sesuatu yang dapat dimengerti oleh rasio;
kecepatan sebuah benda yang jatuh sampai dengan orbit sebuah planet
telah dapat diprediksi dan dihitung. Alam semesta mulai dimengerti
sebagai sesuatu yang teratur dan rasional. Pada awalnya, banyak filsuf
dan pakar sains dalam periode ini bukan Atheis. Descartes menggunakan
konsep “cogito, ergo sum”-nya untuk berapologetika; Newton juga
mengatakan meskipun ia dapat menerangkan bagaimana planet-planet
berinteraksi, hanya Tuhanlah yang dapat menciptakan keteraturan
tersebut. Namun, meskipun perlahan, deduksi rasional dan buku ilmu mulai
menggantikan iman dan firman Tuhan, sebab implikasi dari Rasionalisme
adalah meskipun adanya Tuhan, malaikat, setan, dan dunia yang tidak
terlihat tidak diragukan, pengertian ini juga menyatakan tidak ada jalan
lain untuk mengetahui semua itu di luar indera manusia atau di luar
rasio manusia.3 Ketika manusia berdosa mulai mendapatkan kebijaksanaan,
mulailah ia melupakan siapa yang memberikan kepadanya kebijaksanaan
tersebut. Hal ini tertulis di kitab Ulangan: “Lalu menjadi gemuklah
Yesyurun, dan menendang ke belakang, —bertambah gemuk engkau, gendut dan
tambun—dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia
memandang rendah gunung batu keselamatannya.”4 Rasionalisme dan
sains yang mendominasi pemikiran Abad Pencerahan telah membuat
keteraturan, kejelasan, dan sistematika sebagai nilai estetika. Kita
akan melihat contoh dari arsitektur.
0 komentar:
Posting Komentar